Menertawai
Kita
Judul Buku: Indonesia dalam Pantun,
Penulis: Mustam Arif, Penerbit: Pustaka Refleksi Makassar (Oktober
2007), Tebal: 95 halaman
Kritik bisa dilakukan lewat berbagai medium. Faktor ini kemudian menggoda Mustam Arif, jurnalis dan pengelola lembaga swadaya masyarakat di Makassar. Alasannya sederhana. Selain ingin memanfaatkan pantun sebagai “alat” melakukan kritik sosial, juga melestarikan tradisi Nusantara. Aspek tersebut selaras di tengah perkembangan kesusastraan modern.
Dengan dorongan itu, Mustam Arif menuangkan pantun-pantun. Menurutnya, karya tersebut kebanyakan diracik secara spontan. Kala tiba masa deadline, ia mengisi sebuah kolom kecil di harian Pedoman Rakyat. Mustam Arif yang tercatat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi segera berkutat merangkai kata demi kata.
Kadang rumit lantaran harus mencari kesamaan huruf di akhir kata. Ihwal itu agar terbentuk persajakan. Di samping itu, harus pula mencari hubungan makna simbolik antara sampiran dengan isi. Hingga, bisa mempertahankan persyaratan sebagai pantun.
Kerja spontan itu melahirkan sejumlah pantun. Deretan pantun itu kemudian diterbitkan oleh penerbit Pustaka Refleksi. Buku itu berjudul Indonesia dalam Pantun.
Kritik bisa dilakukan lewat berbagai medium. Faktor ini kemudian menggoda Mustam Arif, jurnalis dan pengelola lembaga swadaya masyarakat di Makassar. Alasannya sederhana. Selain ingin memanfaatkan pantun sebagai “alat” melakukan kritik sosial, juga melestarikan tradisi Nusantara. Aspek tersebut selaras di tengah perkembangan kesusastraan modern.
Dengan dorongan itu, Mustam Arif menuangkan pantun-pantun. Menurutnya, karya tersebut kebanyakan diracik secara spontan. Kala tiba masa deadline, ia mengisi sebuah kolom kecil di harian Pedoman Rakyat. Mustam Arif yang tercatat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi segera berkutat merangkai kata demi kata.
Kadang rumit lantaran harus mencari kesamaan huruf di akhir kata. Ihwal itu agar terbentuk persajakan. Di samping itu, harus pula mencari hubungan makna simbolik antara sampiran dengan isi. Hingga, bisa mempertahankan persyaratan sebagai pantun.
Kerja spontan itu melahirkan sejumlah pantun. Deretan pantun itu kemudian diterbitkan oleh penerbit Pustaka Refleksi. Buku itu berjudul Indonesia dalam Pantun.
Pantun-pantun dalam kitab berwarna
cerah menyala itu memotret kondisi sosial, politik dan budaya.
Seabrek perkara aktual lain yang pernah menimpa negeri ini, tidak
luput dipantunkan oleh Mustam Arif.
Ada kejadian-kejadian lokal Makassar serta Sulawesi Selatan. Ada peristiwa nasional. Bahkan, persoalan internasional ikut disinggung. Mustam Arif mengakui, pantun adalah puisi lama yang sakral di tengah-tengah masyarakat pada masanya. Ketika disampaikan, pantun harus lewat tatakrama kesantunan.
Dalam buku ini, Mustam Arif mengaku kalau pantunnya menyesuaikan diri selaras situasi zaman sekarang. Segala sesuatu harus dikatakan secara terus terang. Alhasil, Mustam Arif menyebut karyanya sebagai pantun “metal”. Sebab, blak-blakan, genit dan nakal. Pada catatan di pustaka ini, Mustam Arif memohon maaf kepada pihak-pihak yang merasa tersindir oleh pantun-pantun kreasinya.
“Bukan maksud melukai sesama, tetapi ikhlas saling mengingatkan, karena di segala ruang dan waktu, kritik adalah kebutuhan”, tulis Mustam Arif.
Pustaka ini memuat 76 judul. Tiap judul menyorot satu masalah dengan memuat tujuh sampai delapan pantun.
Ada kejadian-kejadian lokal Makassar serta Sulawesi Selatan. Ada peristiwa nasional. Bahkan, persoalan internasional ikut disinggung. Mustam Arif mengakui, pantun adalah puisi lama yang sakral di tengah-tengah masyarakat pada masanya. Ketika disampaikan, pantun harus lewat tatakrama kesantunan.
Dalam buku ini, Mustam Arif mengaku kalau pantunnya menyesuaikan diri selaras situasi zaman sekarang. Segala sesuatu harus dikatakan secara terus terang. Alhasil, Mustam Arif menyebut karyanya sebagai pantun “metal”. Sebab, blak-blakan, genit dan nakal. Pada catatan di pustaka ini, Mustam Arif memohon maaf kepada pihak-pihak yang merasa tersindir oleh pantun-pantun kreasinya.
“Bukan maksud melukai sesama, tetapi ikhlas saling mengingatkan, karena di segala ruang dan waktu, kritik adalah kebutuhan”, tulis Mustam Arif.
Pustaka ini memuat 76 judul. Tiap judul menyorot satu masalah dengan memuat tujuh sampai delapan pantun.
Pantun dalam buku ini memotret
aneka masalah yang pernah berkelindan di tengah kita sampai periode
April 2007. Pantun-pantun itu dirangkai Mustam Arif layaknya liputan
peristiwa.
Sebagai contoh. “Daun kelapa dianyam janur/Janur dipasang di pinggir jembatan/Gubernur dan Wagub, calon gubernur/Kantor berpindah ke rumah jabatan/…Kalau tidur di atas kasur/ Janganlah bantal diselip jarum/Gubernur dan Wagub calon gubernur/Duduk berdampingan kehilangan senyum”. Ungkapan ini melukiskan suasana Pilkada di Sulsel.
Simak pula. “Kalau ingin mendaki gunung/Janganlah sampai sakit punggung/Lantang bersuara menolak poligami/Apalah daya belum mengalami/…Itik bertelur di sembarang tempat/Telurnya jatuh di bawah pantat/Suami berjanji tidak akan poligami/Rutin berhubungan dengan mami-mami”. Ungkapan ini menyindir poligami.
Camkan juga pantun bertajuk “Mabuk Senayan”. Mustam Arif berpantun. “Ada candu di buah kecubung/Jangan sampai dimakan itik/Sama-sama dilanda mabuk panggung/Panggung hiburan dan panggung politik/…Jika ingin bersarung batik/Jangan sampai terlilit panjang/Pangggung hiburan dan panggung politik/Dari kursi lompat ke ranjang”.
Mengenai Makassar, Mustam Arif menyentil “Duduk-duduk di Karebosi/Mengalun merdu musik perkusi/Kota Makassar kota bersejarah/Dikepung ruko berbagai arah/…Nonton orkes di Ballaparang/Anak muda membawa parang/Kota Makassar kota bersejarah/Berita di televisi berdarah-darah”.
Jenaka dan menggelitik. Begitulah sapa kalbu usai menikmati Indonesia dalam Pantun. Mustam Arif mendedikasikan pantun-pantun ini sebagai “teman” minum kopi. Kita kerap tertawa, kemudian menyadari bahwa kita menertawai diri kita.
Sebagai contoh. “Daun kelapa dianyam janur/Janur dipasang di pinggir jembatan/Gubernur dan Wagub, calon gubernur/Kantor berpindah ke rumah jabatan/…Kalau tidur di atas kasur/ Janganlah bantal diselip jarum/Gubernur dan Wagub calon gubernur/Duduk berdampingan kehilangan senyum”. Ungkapan ini melukiskan suasana Pilkada di Sulsel.
Simak pula. “Kalau ingin mendaki gunung/Janganlah sampai sakit punggung/Lantang bersuara menolak poligami/Apalah daya belum mengalami/…Itik bertelur di sembarang tempat/Telurnya jatuh di bawah pantat/Suami berjanji tidak akan poligami/Rutin berhubungan dengan mami-mami”. Ungkapan ini menyindir poligami.
Camkan juga pantun bertajuk “Mabuk Senayan”. Mustam Arif berpantun. “Ada candu di buah kecubung/Jangan sampai dimakan itik/Sama-sama dilanda mabuk panggung/Panggung hiburan dan panggung politik/…Jika ingin bersarung batik/Jangan sampai terlilit panjang/Pangggung hiburan dan panggung politik/Dari kursi lompat ke ranjang”.
Mengenai Makassar, Mustam Arif menyentil “Duduk-duduk di Karebosi/Mengalun merdu musik perkusi/Kota Makassar kota bersejarah/Dikepung ruko berbagai arah/…Nonton orkes di Ballaparang/Anak muda membawa parang/Kota Makassar kota bersejarah/Berita di televisi berdarah-darah”.
Jenaka dan menggelitik. Begitulah sapa kalbu usai menikmati Indonesia dalam Pantun. Mustam Arif mendedikasikan pantun-pantun ini sebagai “teman” minum kopi. Kita kerap tertawa, kemudian menyadari bahwa kita menertawai diri kita.
Abdul Haris Booegies
http://abdulharisbooegies.blogspot.com/
(Fajar, Ahad, 25 November 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar