Perspektif
Pers Mahasiswa
Oleh
Adrian Jourdan Muslim
Peminat
Kajian Media
“Reformasi
gagal” merupakan saripati sesudah menyaksikan Indonesia di tarikh
2012. Reformasi yang digulirkan mahasiswa sukses mendongkel Soeharto
seraya menolak dwifungsi ABRI. Selain itu, reformasi menghasilkan
pengembangan otonomi daerah.
14
tahun berlalu, ternyata reformasi belum mencapai puncak ekspektasi.
Reformasi memang telah menentukan arah demokratisasi di Indonesia.
Negeri ini begitu progresif dalam mengaplikasikan pengembangan
demokrasi.
Dalam
dinamika politik kontemporer, spirit refomasi kehilangan kontrol atas
kebijakan publik. Apalagi, negeri sarang koruptor ini banyak dihuni
politisi busuk yang sekedar berpikir pragmatis. Orbaisme alias paham
Orde Baru malahan turut memperparah keadaan. Akibatnya, oligarki
politik Orde Baru menggurita di struktur kekuasaan.
Kita
muak dengan politik Orde Baru yang mengedepankan kekerasan. Di zaman
Soeharto, penyelenggara negara tuli terhadap aspirasi rakyat maupun
mahasiswa. Bahkan, korupsi, kolusi serta nepotisme marak
dipraktekkan.
Dewasa
ini, kita mengharap ada golongan yang bisa membawa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) berlabuh di stasiun sejahtera nan damai.
Rakyat mendambakan demokrasi mesti finish
sembari membawa keutuhan bangsa, keadilan dan kemakmuran rakyat.
Aktivis
penggerak reformasi 98 masih banyak yang lantang. Sebagian lainnya
terlibat dalam pemerintahan. Hingga, merepotkan arah reformasi.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa aktivis reformasi yang masih suci
harus bergandeng tangan dengan mahasiswa untuk menata ulang visi
optimistis-progresif.
Mahasiswa
sukses menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru. Kini, mahasiswa
dituntut proaktif mengawal NKRI. Senjata mahasiswa yang ampuh untuk
berjuang ialah pers mahasiswa. Media-media kampus menjadi hembusan
nafas demi merestorasi NKRI. Pers mahasiswa dibutuhkan guna memicu
suasana sekarang demi mencapai martabat serta peradaban.
Ironis
terasa lantaran ketika pers mahasiswa diperlukan, mereka rupanya
kekurangan energi. Daya ledak pers mahasiswa makin lemah. Mereka acap
menyelenggarakan diskusi. Sementara kinerjanya nihil.
Pertemuan-pertemuan pers mahasiswa sesungguhnya laksana
kata minus makna. Diskusi itu tidak membuahkan hasil. Tiada
kebangkitan di kalangan kampus. Isu-isu strategis kalah oleh isu-isu
aksesoris.
“Mahasiswa
penulis” malahan kian sulit muncul. Mahasiswa mungkin terlena oleh
Facebook, Twitter, Google+, Instagram
atau asyik-masyuk googling
memelototi Miyabi Ozawa.
Pada periode ini, momentum
bagi pers mahasiswa untuk bangkit. Penerbitan kampus mutlak
menggerakkan paket-paket perubahan.
Sukma Lektura
Di
akhir tarikh 80-an, “mahasiswa penulis” didominasi Universitas
Hasanuddin. Aspek tersebut dapat dimafhumi karena mahasiswa Unhas
sangat banyak. Kala itu, nama semacam Mustam Arif, Shaifuddin Bahrum,
Sapri Pamulu berikut Moch Hasymi bergantian menulis di Pedoman
Rakyat.
Menorehkan
nama di surat kabar lokal kiranya tak cukup. Sastra Unhas lantas
menerbitkan majalah Lektura
pada Agustus 1990. Sejak itu, menjamur penerbitan dari fakultas lain
di lingkungan Unhas. Channel 9
(Teknik), Ecotrend
(Ekonomi), Yudika
(Hukum), Sinovia
(Kedokteran), Politzer
(Fisipol) dan Muwahid
(MPM).
Lektura
termasuk primadona. Majalah tersebut mempelopori penerbitan ofset
dengan sampul full color.
Media kampus yang sebelumnya hanya buletin stensilan, mendadak kuno
begitu Lektura terbit
secara trendy serta
glossy. Isinya pun
variatif. Lektura
kokoh berkat ditopang Sukma Rasyid, Andi Ilham Paulangi, Nasru Alam
Aziz bersama Rahmawaty Syukur. Kuartet ini merupakan sukma Lektura.
Lektura
tergolong eksklusif. Dialog antara pemimpin redaksi Lektura
dengan wakil pemred sempat terdengar. Pemred meminta agar penulis
opini di Lektura
pernah menulis di dua harian yang terbit di Makassar. Setengah
percaya bercampur geli, wakil pemred berseru sambil cekikikan: “Jadi
untuk menulis di Lektura
mesti menulis dulu di dua koran daerah?” Maklumat itu kemudian
diberlakukan. Alhasil, seluruh artikel di Lektura
diracik oleh penulis tangguh.
Fenomena
paling menonjol dari Lektura
yakni sifat berani dan keras. Elemen tersebut yang membuat seorang
rektor dari sebuah perguruan tinggi nyaris kasak-kusuk di pengadilan.
Ia sebal dirinya diobok-obok. Untung saja semua berita Lektura
bukan isapan jempol, bukan dusta atau sekedar cari sensasi.
Sepak-terjang
Lektura akhirnya
wassalam dari ranah
pers mahasiswa tatkala mengekspos laporan utama Golongan Putih.
Reportase Lektura
dinilai menghasut serta tendensius di masa Orde Baru. Pada Juli 1992,
Departemen Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan memberangus Lektura.
Dengan demikian, Lektura
termasuk sebuah pilar intelektual yang sempat melecehkan Orde Baru.
Pembreidelan Lektura
sebetulnya menambah energi buat menumbangkan rezim Orde Baru.
Voice of Adab
Sebelum
Lektura dirilis,
sebuah buletin di Fakultas Adab UIN Alauddin terbit pada 1988.
Namanya Voice of Adab.
Buletin yang memiliki artikel inovatif itu rumit bertahan. Sebab,
cuma difotokopi. Bila persediaan habis lalu ada yang berniat membeli,
mendadak redaktur tergopoh-gopoh pergi memfotokopinya. Bayangkan
kalau listrik mati, terpaksa peminatnya batal membeli. Uang yang
sudah di tangan redaktur terpaksa dikembalikan lagi ke pembeli.
“Daripada menunggu lebih baik pulang!”, umpat konsumen seraya
bersungut-sungut karena lelah menanti. Voice
of Adab akhirnya mati merana.
Bagaimana
sepatutnya pers mahasiswa supaya dikenang sejarah? Apakah harus mati
secara ksatria sebagaimana Lektura
yang dibreidel. Pilihan lain adalah tetap eksis kendati
kembang-kempis laiknya Voice of Adab.
Pers
mahasiswa seyogianya fokus ke persoalan yang diangkat. Keberanian
wajib dikedepankan. Tidak main kucing-kucingan dengan pihak fakultas
gara-gara takut diberangus. Instrumen lain yaitu jangan jadi humas
rektorat. Resep ini yang dipraktikkan Lektura
selama tiga tahun. Lektura
selalu fokus, berani sekaligus bukan corong pimpinan universitas.
Dari
pengamatan mengkaji pers mahasiswa, tersembul ihwal krusial yang
mesti dilakukan pegiat pers mahasiswa. Tips dan trik guna memacu
gairah penerbitan kampus mencakup dua faktor.
Pertama,
saat laporan utama digarap, maka, redaksi mesti meminta pula komentar
sejumlah mahasiswa terkait isu yang diangkat. Komentar tersebut
lantas disisipkan di akhir laporan utama lengkap dengan foto. Dengan
demikian, cover story
punya pijakan wacana di tengah mahasiswa. Efek positifnya, media
kampus itu bakal dibeli. Maklum, komentar yang dipublikasikan membuat
senang mahasiswa bersangkutan.
Kedua,
melibatkan Ketua Himpunan. Ketika mahasiswa baru tiba, jelas bukan
ketua senat atau pemimpin redaksi yang berkuasa di sebuah jurusan.
Kala itu, yang dipertuan agung tiada lain ketua himpunan. Arkian,
untuk memuluskan distribusi media ke mahasiswa baru tentu ketua
himpunan elok direkomendasikan sebagai redaktur khusus. Dampaknya
jelas bahwa pangsa pasar langsung ada. Pemred bisa tersenyum lebar
berkat dana edisi berikutnya telah tersedia.
Kini,
momentum bagi pers mahasiswa untuk kembali bangkit. Isu yang harus
disambar ialah reformasi yang macet. Berlapis-lapis problem di
seputar reformasi belum tuntas. Padahal, reformasi gigih
diperjuangkan aktivis 98 demi memerdekakan Indonesia dari rezim
Soeharto. Generasi 98 berhadapan langsung dengan aparat keamanan yang
menembakkan peluru tajam. Sekarang, mahasiswa mesti melanjutkan
perjuangan aktivis 98 dengan pena lewat pers mahasiswa.
(Cakrawala, Senin, 4 Juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar