Minggu, 03 Juni 2012

Tribun Timur dan Mahasiswa


Tribun Timur dan Mahasiswa
Oleh Adrian Jourdan Muslim
Kolektor Media serta Pemerhati Pers

      Tribun Timur telah mengarungi kurun waktu enam tahun. Suatu umur yang masih teramat belia. Dari asumsi pribadi, saya melihat tarikh 2010 merupakan tahun terberat Tribun Timur.
      Media ini seolah tidak seriuh lagi seperti sebelumnya. Indikasi ini bisa menghambat laju perkembangan Tribun Timur guna menorehkan diri sebagai brand religion. Di Hari Pers Nasional yang bersamaan Ulang Tahun ke-7 Tribun Timur, saya punya sejumput asa untuk media ini.
      Pada 1990-an, paman Tribun Timur yang bernama Surya, begitu akrab dengan mahasiswa. Surya terbitan Kompas-Gramedia di Surabaya memiliki Kolom Komentar yang mayoritas diisi tulisan mahasiswa. Pada halaman Opini, tersaji Salam Surya (tajuk rencana), dua opini, sederet Surat Pembaca dan Mimbar Demokrasi (berisi enam foto pembaca yang diminta argumentasinya perihal suatu masalah). Di halaman itu tertera pula satu atau dua Kolom Komentar. Mahasiswa acap menjadikan Kolom Komentar sebagai wadah polemik.
      Tribun Timur layak mengadopsi Kolom Komentar harian Surya. Struktur tersebut untuk mendekatkan Tribun Timur dengan mahasiswa. Apalagi, ide mahasiswa kerap tak kalah apik dengan para seniornya dari jajaran S2 atau S3.
      Hambatan yang mengurangi keindahan artikel mahasiswa yaitu terjebak dalam alur yang bertele-tele. Selain itu, kalimatnya panjang sekaligus minim titik. Padahal, tanda titik tidak dibeli. Tersedia berapa saja yang dibutuhkan secara gratis. Dengan kehadiran Kolom Komentar yang terbatas ruangnya, maka, mahasiswa dapat belajar menulis secara ringkas serta bernas.
      Saban waktu, senantiasa muncul mahasiswa yang berambisi menulis di Tribun Timur. Mereka berhasrat mengaktualisasikan simbol status dan ekspresi identitas. Problem muncul lantaran penulis di Tribun Timur diisi oleh individu mapan di bidang intelektualitas. Di samping itu, mereka punya nama besar sebagai cerdik-pandai dengan analisis prima. Hingga, penulis baru kehilangan nyali untuk bersaing. Mahasiswa pun repot membuat media. Pasalnya, dananya tak sedikit.
      Pada 1990-1992, media mahasiswa yang elegan adalah majalah LEKTURA terbitan Sastra Unhas. LEKTURA diawaki oleh Andi Ilham Paulangi, Mustam Arif, Nasru Alam Aziz, Rahmawati Syukur bersama Sukma Rasyid (deretan nama redaksi LEKTURA ini sesuai urutan abjab). Sepak-terjang LEKTURA akhirnya berakhir gara-gara doyan melansir kritik pedas.

Seni-Budaya
      Saya mungkin pelanggan pertama harian Surya serta Tribun Timur di Makassar. Saya mengoleksi Tribun Timur termasuk edisi 9 Februari 2004. Koleksi tersebut saya simpan bersama Tempo edisi pertama 1971 di La Bibliotheque Privee (perpustakaan pribadi).  Aneka harian dan majalah saya koleksi sebagai bentuk kecintaan terhadap media, khususnya pers mahasiswa.
      Di Hari Pers Nasional ini, terbersit di pikiran tulisan-tulisan rekan mahasiswa 15 tahun sebelum Tribun Timur terbit. Saya yakin Tribun Timur bisa menghidupkan kembali tradisi kritis mahasiswa lewat jurnalistik. Apalagi, gaya hidup mahasiswa di Makassar belakangan ini yakni senang online, membaca koran lokal sembari menyimak isu politik. Substansi itu selaras dengan konsumen internet di Indonesia yang mencapai 40 juta.
      Kolom Komentar ala harian Surya merupakan satu metode untuk terus mengibarkan Tribun Timur di era digital (2010-2020). Kompetisi antar-media terus berkecamuk. Siapa jeli memaksimalkan satu celah, berarti ia berpeluang mendulang kejayaan. Siapa lengah serta kehilangan fokus, niscaya ia tersisih dari gerak dinamis new media.
      Anatomi new media ialah pers konvensional berkolaborasi dengan jejaring sosial dunia maya. Facebook dan Twitter, misalnya, sudah mewabah di kalangan mahasiswa. Di Indonesia, pengguna Facebook sekitar 31 juta. Sedangkan Twitter delapan juta.
      Dewasa ini, segenap media berlomba meracik gagasan agar tidak tergilas oleh internet yang serba gratis, cepat serta beragam. Media mewarnai bermacam rupa rubriknya supaya pembaca tetap setia. Semua diberi gincu agar berlabel visi milenium. Eksplorasi penonjolan diri digagas demi memuaskan pembaca.
      Kompas yang diklaim sebagai the great, juga tiada henti berproses menata diri. Kalau Kompas yang merupakan Paus Koran Indonesia terus berbenah, maka, surat kabar dari kasta penguasa lokal pasti wajib pula menata diri.
      Selama menikmati Tribun Timur, saya terkadang heran. Mengapa media ini tak memiliki rubrik seni-budaya. Padahal, manusia merupakan konsumen kultural. Biarpun selera pribadi sarat aura Facebook dan Twitter, namun, mahakarya artistik seni-budaya tetap bergelora dalam dada.
      Seni-budaya nihil di Tribun Timur. Sementara gadget ultra-mutakhir berdesing-desing dipropagandakan bak rentetan senapan mesin. Walhasil, mendorong sifat konsumtivisme masyarakat. Padahal, kemiskinan di negara ini makin hari kian menganga. Di satu sisi kita diingatkan berhemat. Di lain kesempatan, Tribun Timur membuai dengan warta seputar gadget produksi terbaru.

Sinergi Spirit
      Di masjid maupun pengajian, umat dilarang bergosip. Tribun Timur ternyata melampirkan isu-isu sekitar seleb dengan foto warna dalam ukuran besar.
      Saya percaya jika rubrik artis di Tribun Timur yang provokatif merupakan bentuk penghargaan kepada pembaca wanita serta remaja putri. Bila rubrik tersebut untuk memuaskan satu kelompok pembaca, berarti Tribun Timur juga mutlak merangkul mahasiswa dan pencinta seni.
      Sebagai media yang terus berkembang, Tribun Timur harus berpedoman pada semboyan Mousquetaire (pengawal Raja Perancis): “All for one and one for all”.
      Orang cuma membeli Tribun Timur untuk merasa cukup. Maklum, Tribun Timur mencakup banyak aspek. Tulisan mahasiswa serta esai budaya pun tersedia. All for one and one for all inilah sebenarnya inti “spirit baru Makassar”. Semboyan Tribun Timur itu tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah “semangat” kalau hanya gosip dan gadget dikedepankan. Sebab, tak mencakup seluruh elemen pembaca.
      Jika all for one and one for all bersinergi dengan “spirit baru Makassar”, niscaya brand religion dapat diraih Tribun Timur. Brand Religion merupakan derajat tertinggi suatu merek. The Washington Post, The New York Times, USA Today, Le Monde, Le Figaro atau The Sun tiada lain koran yang telah mencapai level brand religion. Berita-beritanya diimani oleh khalayak. International Herald Tribune, umpamanya, sudah menjadi ideologi bagi pembaca. Kabar yang dirilis begitu dipercaya. Opininya menjadi acuan karena diyakini berbobot orisinal.
      Akhir kata, semoga Tribun Timur sukses selalu. Tiada yang lebih menyenangkan kecuali menatap keberhasilan maksimal. Selamat Ulang Tahun, mudah-mudahan tetap gilang-gemilang menapak usia selanjutnya.

(Tribun Timur, 9 Februari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Pengikut

Wal-Mart.com USA, LLC
Lazada Indonesia
Wal-Mart.com USA, LLC
2000 Islamic Products from simplyislam.com
Wal-Mart.com USA, LLC
Gearbest  promotion
Islamic Toys and Games
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Islamic drop ship service dropship
Win Digital Quran Pen reader Competition
islamic discount vouchers
islamic canvas art
Wal-Mart.com USA, LLC