Tribun
Timur
dan Mahasiswa
Oleh
Adrian Jourdan Muslim
Kolektor
Media serta Pemerhati Pers
Tribun
Timur
telah mengarungi kurun waktu enam tahun. Suatu umur yang masih
teramat belia. Dari asumsi pribadi, saya melihat tarikh 2010
merupakan tahun terberat Tribun
Timur.
Media
ini seolah tidak seriuh lagi seperti sebelumnya. Indikasi ini bisa
menghambat laju perkembangan Tribun
Timur
guna menorehkan diri sebagai brand
religion.
Di Hari Pers Nasional yang bersamaan Ulang Tahun ke-7 Tribun
Timur,
saya punya sejumput asa untuk media ini.
Pada
1990-an, paman Tribun
Timur
yang bernama Surya,
begitu akrab dengan mahasiswa. Surya
terbitan Kompas-Gramedia
di Surabaya memiliki Kolom Komentar yang mayoritas diisi tulisan
mahasiswa. Pada halaman Opini, tersaji Salam Surya (tajuk rencana),
dua opini, sederet Surat Pembaca dan Mimbar Demokrasi (berisi enam
foto pembaca yang diminta argumentasinya perihal suatu masalah). Di
halaman itu tertera pula satu atau dua Kolom Komentar. Mahasiswa
acap menjadikan Kolom Komentar sebagai wadah polemik.
Tribun
Timur
layak mengadopsi Kolom Komentar harian Surya.
Struktur tersebut untuk mendekatkan Tribun
Timur
dengan mahasiswa. Apalagi, ide mahasiswa kerap tak kalah apik dengan
para seniornya dari jajaran S2 atau S3.
Hambatan
yang mengurangi keindahan artikel mahasiswa yaitu terjebak dalam alur
yang bertele-tele. Selain itu, kalimatnya panjang sekaligus minim
titik. Padahal, tanda titik tidak dibeli. Tersedia berapa saja yang
dibutuhkan secara gratis. Dengan kehadiran Kolom Komentar yang
terbatas ruangnya, maka, mahasiswa dapat belajar menulis secara
ringkas serta bernas.
Saban
waktu, senantiasa muncul mahasiswa yang berambisi menulis di Tribun
Timur.
Mereka berhasrat mengaktualisasikan simbol status dan ekspresi
identitas. Problem muncul lantaran penulis di Tribun
Timur
diisi oleh individu mapan di bidang intelektualitas. Di samping itu,
mereka punya nama besar sebagai cerdik-pandai dengan analisis prima.
Hingga, penulis baru kehilangan nyali untuk bersaing. Mahasiswa pun
repot membuat media. Pasalnya, dananya tak sedikit.
Pada
1990-1992, media mahasiswa yang elegan adalah majalah LEKTURA
terbitan Sastra Unhas. LEKTURA
diawaki oleh Andi Ilham Paulangi, Mustam Arif, Nasru Alam Aziz,
Rahmawati Syukur bersama Sukma Rasyid (deretan nama redaksi LEKTURA
ini sesuai urutan abjab). Sepak-terjang LEKTURA
akhirnya berakhir gara-gara doyan melansir kritik pedas.
Seni-Budaya
Saya
mungkin pelanggan pertama harian Surya
serta Tribun
Timur
di Makassar. Saya mengoleksi Tribun
Timur
termasuk edisi 9 Februari 2004. Koleksi tersebut saya simpan bersama
Tempo
edisi pertama 1971 di La
Bibliotheque Privee
(perpustakaan pribadi). Aneka harian dan majalah saya koleksi
sebagai bentuk kecintaan terhadap media, khususnya pers mahasiswa.
Di
Hari Pers Nasional ini, terbersit di pikiran tulisan-tulisan rekan
mahasiswa 15 tahun sebelum Tribun
Timur
terbit. Saya yakin Tribun
Timur
bisa menghidupkan kembali tradisi kritis mahasiswa lewat jurnalistik.
Apalagi, gaya hidup mahasiswa di Makassar belakangan ini yakni
senang online,
membaca koran lokal sembari menyimak isu politik. Substansi itu
selaras dengan konsumen internet di Indonesia yang mencapai 40 juta.
Kolom
Komentar ala harian Surya
merupakan satu metode untuk terus mengibarkan Tribun
Timur
di era digital (2010-2020). Kompetisi antar-media terus berkecamuk.
Siapa jeli memaksimalkan satu celah, berarti ia berpeluang mendulang
kejayaan. Siapa lengah serta kehilangan fokus, niscaya ia tersisih
dari gerak dinamis new
media.
Anatomi
new
media
ialah pers konvensional berkolaborasi dengan jejaring sosial dunia
maya. Facebook
dan Twitter,
misalnya, sudah mewabah di kalangan mahasiswa. Di Indonesia,
pengguna Facebook
sekitar 31 juta. Sedangkan Twitter
delapan juta.
Dewasa
ini, segenap media berlomba meracik gagasan agar tidak tergilas oleh
internet yang serba gratis, cepat serta beragam. Media mewarnai
bermacam rupa rubriknya supaya pembaca tetap setia. Semua diberi
gincu agar berlabel visi milenium. Eksplorasi penonjolan diri
digagas demi memuaskan pembaca.
Kompas
yang diklaim sebagai the
great,
juga tiada henti berproses menata diri. Kalau Kompas
yang merupakan Paus Koran Indonesia terus berbenah, maka, surat kabar
dari kasta penguasa lokal pasti wajib pula menata diri.
Selama
menikmati Tribun
Timur,
saya terkadang heran. Mengapa media ini tak memiliki rubrik
seni-budaya. Padahal, manusia merupakan konsumen kultural. Biarpun
selera pribadi sarat aura Facebook
dan Twitter,
namun, mahakarya artistik seni-budaya tetap bergelora dalam dada.
Seni-budaya
nihil di Tribun
Timur.
Sementara gadget
ultra-mutakhir berdesing-desing dipropagandakan bak rentetan senapan
mesin. Walhasil, mendorong sifat konsumtivisme masyarakat. Padahal,
kemiskinan di negara ini makin hari kian menganga. Di satu sisi kita
diingatkan berhemat. Di lain kesempatan, Tribun
Timur
membuai dengan warta seputar gadget
produksi terbaru.
Sinergi
Spirit
Di
masjid maupun pengajian, umat dilarang bergosip. Tribun
Timur
ternyata melampirkan isu-isu sekitar seleb dengan foto warna dalam
ukuran besar.
Saya
percaya jika rubrik artis di Tribun
Timur
yang provokatif merupakan bentuk penghargaan kepada pembaca wanita
serta remaja putri. Bila rubrik tersebut untuk memuaskan satu
kelompok pembaca, berarti Tribun
Timur
juga mutlak merangkul mahasiswa dan pencinta seni.
Sebagai
media yang terus berkembang, Tribun
Timur
harus berpedoman pada semboyan Mousquetaire
(pengawal Raja Perancis): “All
for one and one for all”.
Orang
cuma membeli Tribun
Timur
untuk merasa cukup. Maklum, Tribun
Timur
mencakup banyak aspek. Tulisan mahasiswa serta esai budaya pun
tersedia. All
for one and one for all
inilah sebenarnya inti “spirit baru Makassar”. Semboyan Tribun
Timur
itu tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah “semangat” kalau hanya
gosip dan gadget
dikedepankan. Sebab, tak mencakup seluruh elemen pembaca.
Jika
all
for one and one for all
bersinergi dengan “spirit baru Makassar”, niscaya brand
religion
dapat diraih Tribun
Timur. Brand Religion
merupakan derajat tertinggi suatu merek. The
Washington Post, The New York Times, USA Today, Le Monde, Le Figaro
atau
The Sun
tiada lain koran yang telah mencapai level brand
religion.
Berita-beritanya diimani oleh khalayak. International
Herald Tribune,
umpamanya, sudah menjadi ideologi bagi pembaca. Kabar yang dirilis
begitu dipercaya. Opininya menjadi acuan karena diyakini berbobot
orisinal.
Akhir
kata, semoga Tribun
Timur
sukses selalu. Tiada yang lebih menyenangkan kecuali menatap
keberhasilan maksimal. Selamat Ulang Tahun, mudah-mudahan tetap
gilang-gemilang menapak usia selanjutnya.
(Tribun Timur, 9 Februari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar